Rabu, 05 Juni 2013

Curahan Hati Didit


Berawal dari saran dosen qu bu Nurliah, "gimana kalau kita adakan nobar dibalik frekuensi" kata bu Nurliah. langsung aja deh aku donwload Trailer Di Balik Frekuensi,

 
Setelah nonton trailernya, akhirnya teman - teman setuju untuk menjadikan gagasan bu Nurliah masuk kedalam event ComPhoria 2013, dan tepatnya Sabtu, 4 Mei 2013 di Auditorium Unmul kami adakan nobar dengan tema Mayday, daaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaannnn
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
Ternyata Filmya bener-bener membuka Cakrawala Penegetahuan dan membuat Cerdas serta membuat Kata ini terucap,

Sayangnya di Indonesia, frekuensi publik sebagai kekayaan udara yang jarang dibicarakan, dieksploitasi sedemikian rupa oleh para pemilik media – khususnya televisi, dan digunakan sebesarnya untuk kepentingan ekonomi dan politik mereka sendiri tanpa memikirkan kepentingan publik. Inikah ‘Captivated state’? ‘Captured state’? Sungguhkah negara sudah terbeli?

Sedikit
Info

Tahukah Anda
Di Indonesia
ada



Dan ternyata dari RIBUAN KANAL di Indonesia
hanya ada 12 Orang Saja Pemiliknya





























Sedikit menceritakan kembali film DBF (Dibalik Frekuensi),
 



Di Balik Frekuensi adalah sebuah feature documentary yang bercerita tentang sebagian kecil dari kisah media yang ada di Indonesia, khususnya media televisi yang menggunakan sarana frekuensi. Bagaimana frekuensi publik saat ini digunakan oleh pemilik media untuk kepentingan politik dan bisnisnya yang jauh dari kepentingan yang berkenaan dengan publik, itulah sebagian dari cerita yang bisa dilihat dalam film dokumenter ini. Melalui kisah Luviana jurnalis Metro TV yang di PHK-kan serta kisah Hari Suwandi dan Harto Wiyono dua orang warga korban lumpur Lapindo yang berjalan kaki dari Porong-Sidoarjo ke Jakarta, film ini akan mengajak kita untuk menyusur apa yang terjadi di dunia media di Indonesia belakangan, setelah reformasi berjalan hampir 15 tahun.

hemmmm,,,,
Tanah, air dan udara, –merupakan sumber daya yang terbatas dan memiliki nilai yang sangat berharga– harus dikuasai negara dan sebesar-besarnya digunakan untuk kepentingan rakyat. Namun sayangnya di Indonesia, frekuensi publik sebagai kekayaan udara dieksploitasi sedemikian rupa oleh para pemilik media (khususnya televisi), dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan ekonomi dan politik mereka sendiri tanpa memikirkan kepentingan publik. Benar-benar negara ini sudah terbeli!


Hentikan Monopoli, Kembalikan Frekuensi!
Media Mengabdi Publik, Bukan Menghamba Pada Pemilik.




Ya, begitulah kalimat- kalimat promosi untuk acara menonton dan diskusi film “Di Balik Frekuensi”. Mungkin agak aneh ya mengapa judul film-nya di balik frekuensi. Menurut qu, di sekitar kita tidak hanya berisi berjuta- juta gas yang tak terlihat, tetapi juga banyak frekuensi yang tidak bisa dirasakan kedatangannya. Frekuensi tidak hanya dari siaran radio, tapi juga siaran televisi. Masing- masing stasiun radio dan televisi ada “kasta”-nya. Pada radio ada radio AM, ada juga radio FM yang biasanya kita dengarkan sampai sekarang. Sedangkan pada stasiun televisi ada UHF, VHF, dan sebagainya. Dari frekuensi itulah kita dapat menikmati informasi- informasi yang disiarkan oleh beberapa perusahaan media.

Sampe lupa diriku untuk menceritakan sedikit DBF, Film ini menceritakan tentang 2 orang pencari keadilan yang “tertindas” oleh 2 stasiun televisi swasta yang berbeda. Orang yang pertama bernama Luviana, seorang wanita yang telah bekerja selama hampir 10 tahun di stasiun televisi “biru burung”. Entah mengapa beliau pindah jabatan oleh manager stasiun televisi itu secara mendadak. Awalnya Luviana menjadi asisten produser, kemudian dipindahkan ke bagian HRD. Akibat dipindah jabatan itu, beliau tidak dipersilakan memasuki ruang redaksi.

Orang yang kedua bernama Hari Suwandi. Beliau adalah salah satu dari korban lumpur lapindo. Beliau berinisiatif untuk melakukan perjalanan panjang selama sebulan untuk menemui penguasa pemilik perusahaan lapindo. Pak Hari ini berjalan kaki dari Porong, Siduarjo menuju Jakarta. Alasan beliau melakukan hal tersebut karena prihatin perusahaan itu tidak dapat memenuhi kebutuhan korban lumpur Lapindo.

Usaha kedua tokoh itu untuk memperoleh keadilan sangat tidak mudah. Pada tokoh pertama, Luviana telah melakukan mediasi dengan pihak manajemen “biru burung”. Akan tetapi, usaha ini tidak sampai menuju titik temu. Karena beliau mempunyai serikat pekerja, tokoh ini bersama- sama melakukan orasi di depan kantor stasiun televisi itu. Semua wartawan melihat aksi tersebut. Tidak ada satupun karyawan yang memberikan komentar karena di tempat itu ada manajer. Mungkin jika karyawan tersebut memberikan komentar, manajer akan memecatkannya.



Sedangkan pada tokoh yang kedua, Pak Hari Suwandi mendapat beberapa nikmat berupa minuman dan uang selama perjalanan. Dia tidak melakukan perjalanan seorang diri. Ada beberapa rekan yang membantu dia menuju tempat itu. Saat perjalanan menuju ke sana, dia mendapatkan berita yang tidak sesuai dengan kenyataan oleh stasiun televisi “merah dunia”. Pada berita itu dikatakan bahwa terdapat seorang warga “yang mengaku” korban lumpur Lapindo …. Mendengar berita itu, dengan spontan setiap ada reporter yang menggunakan seragam identitas “merah dunia”, beliau menyuruh reporter itu untuk pergi.

Setelah melakukan aksi mediasi dan orasi dan ternyata tidak menyelesaikan masalah, Luviana mengirimkan surat pengaduan ke pemegang perusahaan stasiun televisi “biru burung” di kantor partai “restorasi Indonesia”. Karena tidak digubris sama sekali, Beliau melakukan orasi kembali di depan kantor partai tersebut. Saat orasi itu, beberapa perwakilan partai merasa terganggu dan menyuruh para orator untuk melakukan mediasi secara damai di kantor partai tersebut. Lima perwakilan orator tersebut memasuki gedung tersebut dan bertemu oleh bapak yang berinisial “SP”. Hasil mediasi tersebut menghasilkan putusan bahwa masalah Luviana ini akan diselesaikan pada hari yang telah ditentukan.
Hari yang telah ditentukan tersebut sudah tiba, tetapi acara yang dijanjikan tersebut dibatalkan karena bapak tersebut sedang berada di Singapura untuk melakukan general check in. Mungkin hal itu terjadi juga karena bapak itu tidak mengatakan “Insya Allah” dalam berjanji menentukan hari itu.
Langsung menuju akhir, kedua tokoh itu mendapatkan hal- hal berat dan tidak terduga. Luviana di-PHK oleh manajemennya dengan alasan melakukan orasi secara bersama- sama dan mencemarkan nama baik. Sedangkan pada Bapak Hari Suwandi beliau mendadak muncul di layar "merah dunia" yang menangis, menyesali aksinya dan meminta maaf kepada Aburizal Bakrie. Sungguh aneh, ada apa dibalik semua itu? Kita tahu, Aburizal Bakri adalah nama di balik perusahaan-perusahaan yang menaungi PT Lapindo dan "merah dunia". Apa yang terjadi di balik perubahan sikap drastis Hari yang sebelumnya begitu heroik? ANEH DAN MEMBERIKAN TANDA TANYA YANG GEDE-GEDE (BESAR)?

Dan begitulah akhir dari cerita DBF, Hingga sekarang, Bapak Hari Suwandi tidak tahu di mana keberadaannya, sedangkan Luviana masih berjuang ampe detik ini, dukung lewat Twitter, @dukungluviana.





Terima kasih buat Kak Ucu Agustin dan tim untuk karya yang luar biasa dan mencerahkan, semoga film DBF yang kakak buat dapat menggetarkan dunia dan berhasil jadi yang nomor satu dalam festival film dokumenter internasional, aamiin.



KESIMPULAN  :

  1. Dari ribuan perusahaan media yang ada di Indonesia hanya 34 saja yang memiliki serikat pekerja.
  2. Politisasi dan eksploitasi frekuensi publik oleh pemilik media untuk melindungi kepentingan dan asetnya telah lama berlangsung publik telah menetahuinya, tapi negara seolah abai.
  3. Oligopoli perusahaan media mengakibatkan media di Indonesia dalam kondisi kritis. Karena, pemilik media menguasai opini untuk kepentingan politiknya dengan memanfaatkan berbagai program di medianya. "Baik melalui iklan, talk show, sampai tayangan sinetron masyarakat.
  4. Film ini tidak menggunakan hak cipta jadi siapa pun yang mau menonton nantinya bisa menggandakan tanpa harus izin terlebih dahulu. Mereka menggunakan creative common, jadi hak cipta itu ada di tangan publik, sehingga siapapun boleh menggandakan film ini secara gratis asal bukan untuk kepentingan komersial.
  5. Mengisahkan tentang jurnalis yang percaya bahwa pekerja media harus Independen, kritis dan sejahtera. Luviana adalah seorang jurnalis, telah bekerja 10 tahun di MetroTV sebagai Asisisten Producer News. Luviana dimutasi dari newsroom ke HRD, tapi ia menolak karena ia journalist. Ia kemudian di-PHK sepihak karena mempertanyakan sistem manajemen yang tak berpihak pada pekerja, dan ia juga mengkritisi independensi newsroom yang kerap dipakai oleh kepentingan pemilik. Hingga kini, kasus Luviana masih belum ada penyelesaiannya. Silahkan teman- teman lihat dan ikuti  jejak-jejak aksi perjuangannya melalui blog WordPress-nya tersebut. Banyak hal-hal reflektif dan personal yang ia share selama menjalani dan melalui semua proses yang berkenaan dengan kasusnya melawan Metro TV. Anda juga bisa melihat foto-foto dokumentasinya di WordPress lainnya Dukung Luviana atau twitter@dukungluviana. Silakan sahabat blogger mem-follow blog dan twitter-nya guna update informasi dan memberikan dukungan.
  6. Film ini juga mengisahkan tentang Hari Suwandi dan Harto Wiyono. Mereka adalah dua orang warga korban lumpur Lapindo yang berjalan kaki dari Porong (Sidoarjo) ke Jakarta. Menghabiskan waktu hampir satu bulan demi tekad untuk mencari keadilan bagi warga korban Lapindo yang pembayaran ganti ruginya oleh PT Menarak Lapindo Jaya belum lagi terlunasi. Namun kemudian TV One memutarbalikkan pemberitaan tentang kasus Hari Suwandi dan Harto Wiyono. Aksi protes yang di awal tampak sangat menggebu-gebu sehingga menuai banyak simpati ini berakhir dengan antiklimaks yaitu Hari Suwandi mendadak muncul di layar TV One yang menangis, menyesali aksinya dan meminta maaf kepada Aburizal Bakrie. Sungguh aneh, ada apa dibalik semua itu? Kita tahu, Aburizal Bakri adalah nama di balik perusahaan-perusahaan yang menaungi PT Lapindo dan TV One. Apa yang terjadi di balik perubahan sikap drastis Hari yang sebelumnya begitu heroik?
  7. Film dokumenter ini membawa kita pada perjalanan akan sebuah pencarian terhadap makna: Untuk siapa media dan pers/jurnalisme itu ada? DAN  Untuk siapa mereka bekerja, untuk publik ataukah untuk pemilik media?
  8. Dalam catatannya tentang film ini, Ucu Agustin menulis: Pers dulu dibungkam, pers sekarang dibeli. Benarkah itu yang tengah terjadi di dunia media kita di era konglomerasi media pasca reformasi 14 tahun silam?
  9. Di Balik Frekuensi menunjukkan melalui hal-hal kecil, misalnya wartawan yang males-malesan ketika harus meliput bosnya, atau pemilihan diksi atau malah framing terhadap sebuah berita. Semua menunjukkan bahwa di balik frekuensi milik publik tersebut, terdapat berbagai kepentingan para pemilik stasiun televisi itu.
  10. Kisah -kisah dalam film ini adalah sedikit dari realita dan cerita yang terjadi  " DI BALIK FREKUENSI " Publik.
oligopoli perusahaan media mengakibatkan media di Indonesia dalam kondisi kritis. Karena, pemilik media menguasai opini untuk kepentingan politiknya dengan memanfaatkan berbagai program di medianya. "Baik melalui iklan, talk show, sampai tayangan sinetron. Lalu, di mana ruang - See more at: http://surabaya.tribunnews.com/2013/05/01/hari-buruh-aji-nonton-di-balik-frekuensi#sthash.PucCm61I.dpuf
oligopoli perusahaan media mengakibatkan media di Indonesia dalam kondisi kritis. Karena, pemilik media menguasai opini untuk kepentingan politiknya dengan memanfaatkan berbagai program di medianya. "Baik melalui iklan, talk show, sampai tayangan sinetron. Lalu, di mana ruang - See more at: http://surabaya.tribunnews.com/2013/05/01/hari-buruh-aji-nonton-di-balik-frekuensi#sthash.PucCm61I.dpuf




Yang Menjadi Catatan Berharga bagi qu :

Untung bu Nurliah bukan sekedar nonton aja tapi juga ini di jadikan tugas, ada hal yang sangat penting, di awal bu Nurliah menyuruh kami untuk meng- Copy film ini agar di jadikan referensi, tapi ada satu orang yang tidak setuju dan dia adalah sttstststststts(sensor), aku terlalu terhanyut dengan kata-katanya dan langsung percaya. Kita Mahasiswa di larang untuk menggandakan tanpa ijin itu paparx ,dan benar apa yang dikatakannya,  tapi setelah aku nonton ampe habis, (aku di kasih Copy nya ma Kating ), aku karena sudah terlena dgn katanya  sttstststststts(sensor)  akan nonton bareng aja nanti kita bersama baru hapus, dari saat Mayday ampe sekarang kaga nonton", mana dealine tugas di kumpul Sabtu, 8 Juni 2013 ini, hemmm  ternyata tidak apa" di gandakan asalkan tidak untuk kepentingan komersial, karena mereka menggunakan creative common. Dan semakin kuat lagi saat membaca (http://www.portalkbr.com/berita/seni/2425297_4217.html) ,mungkin saat itu dia hanya melihat sekilas surat perjanjianx dan dia tidak hubungin dulu pihak DBF jika tidak di bolehkan ya apa daya, eh langsung main ambil keputusan, Sekarang aku akan belajar untuk tidak langsung mengambil kesimpulan terlalu cepat, terimakasih bu Nurliah dan sttstststststts(sensor) aku akan belajar untuk bisa membuat orang terperdaya hingga mereka yakin setiap apa yang kita katakan.

Dan bagi teman- teman yang sudah menonoton film Di Balik Frekuensi :










Buruan gabung di FBFrekuensiPublik.

Dan di Twittetnya            : @dbalikfrekuensi

Serta jangan lupa Follow @dukungluviana.
                                                       





HARAPAN:


Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat harus membatasi dengan ketat kepemilikan media dengan mendefinisikan ulang batasan oligopoli maupun monopoli. Usul ini merupakan salah satu rekomendasi tim peneliti tentang “Kebijakan Media dan Industri Media di Indonesia”.
dan
agar dijalankan sistem siaran berjaringan dan dikembalikannya wewenang Komisi Penyiaran Indonesia seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang Penyiaran,".