Berawal dari saran dosen qu bu Nurliah, "gimana kalau kita adakan nobar dibalik frekuensi" kata bu Nurliah. langsung aja deh aku donwload Trailer Di Balik Frekuensi,
Setelah nonton trailernya, akhirnya teman - teman setuju untuk menjadikan gagasan bu Nurliah masuk kedalam event ComPhoria 2013, dan tepatnya Sabtu, 4 Mei 2013 di Auditorium Unmul kami adakan nobar dengan tema Mayday, daaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaannnn
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
Ternyata Filmya bener-bener membuka Cakrawala Penegetahuan dan membuat Cerdas serta membuat Kata ini terucap,
Hentikan Monopoli, Kembalikan
Frekuensi!
Media Mengabdi Publik, Bukan Menghamba Pada Pemilik.
Ya, begitulah kalimat- kalimat
promosi untuk acara menonton dan diskusi film “Di Balik Frekuensi”. Mungkin
agak aneh ya mengapa judul film-nya di balik frekuensi. Menurut qu, di sekitar
kita tidak hanya berisi berjuta- juta gas yang tak terlihat, tetapi juga banyak
frekuensi yang tidak bisa dirasakan kedatangannya. Frekuensi tidak hanya dari
siaran radio, tapi juga siaran televisi. Masing- masing stasiun radio dan
televisi ada “kasta”-nya. Pada radio ada radio AM, ada juga radio FM yang
biasanya kita dengarkan sampai sekarang. Sedangkan pada stasiun televisi ada
UHF, VHF, dan sebagainya. Dari frekuensi itulah kita dapat menikmati informasi-
informasi yang disiarkan oleh beberapa perusahaan media.
Sampe lupa diriku untuk menceritakan sedikit DBF, Film ini menceritakan tentang 2 orang pencari keadilan yang “tertindas” oleh 2 stasiun televisi swasta yang berbeda. Orang yang pertama bernama Luviana, seorang wanita yang telah bekerja selama hampir 10 tahun di stasiun televisi “biru burung”. Entah mengapa beliau pindah jabatan oleh manager stasiun televisi itu secara mendadak. Awalnya Luviana menjadi asisten produser, kemudian dipindahkan ke bagian HRD. Akibat dipindah jabatan itu, beliau tidak dipersilakan memasuki ruang redaksi.
Orang yang kedua bernama Hari Suwandi. Beliau adalah salah satu dari korban lumpur lapindo. Beliau berinisiatif untuk melakukan perjalanan panjang selama sebulan untuk menemui penguasa pemilik perusahaan lapindo. Pak Hari ini berjalan kaki dari Porong, Siduarjo menuju Jakarta. Alasan beliau melakukan hal tersebut karena prihatin perusahaan itu tidak dapat memenuhi kebutuhan korban lumpur Lapindo.
Usaha kedua tokoh itu untuk memperoleh keadilan sangat tidak mudah. Pada tokoh pertama, Luviana telah melakukan mediasi dengan pihak manajemen “biru burung”. Akan tetapi, usaha ini tidak sampai menuju titik temu. Karena beliau mempunyai serikat pekerja, tokoh ini bersama- sama melakukan orasi di depan kantor stasiun televisi itu. Semua wartawan melihat aksi tersebut. Tidak ada satupun karyawan yang memberikan komentar karena di tempat itu ada manajer. Mungkin jika karyawan tersebut memberikan komentar, manajer akan memecatkannya.
Sedangkan pada tokoh yang kedua, Pak Hari Suwandi mendapat beberapa nikmat berupa minuman dan uang selama perjalanan. Dia tidak melakukan perjalanan seorang diri. Ada beberapa rekan yang membantu dia menuju tempat itu. Saat perjalanan menuju ke sana, dia mendapatkan berita yang tidak sesuai dengan kenyataan oleh stasiun televisi “merah dunia”. Pada berita itu dikatakan bahwa terdapat seorang warga “yang mengaku” korban lumpur Lapindo …. Mendengar berita itu, dengan spontan setiap ada reporter yang menggunakan seragam identitas “merah dunia”, beliau menyuruh reporter itu untuk pergi.
Dan begitulah akhir dari cerita DBF, Hingga sekarang, Bapak Hari Suwandi tidak tahu di mana keberadaannya, sedangkan Luviana masih berjuang ampe detik ini, dukung lewat Twitter, @dukungluviana.
KESIMPULAN :
Untung bu Nurliah bukan sekedar nonton aja tapi juga ini di jadikan tugas, ada hal yang sangat penting, di awal bu Nurliah menyuruh kami untuk meng- Copy film ini agar di jadikan referensi, tapi ada satu orang yang tidak setuju dan dia adalah sttstststststts(sensor), aku terlalu terhanyut dengan kata-katanya dan langsung percaya. Kita Mahasiswa di larang untuk menggandakan tanpa ijin itu paparx ,dan benar apa yang dikatakannya, tapi setelah aku nonton ampe habis, (aku di kasih Copy nya ma Kating ), aku karena sudah terlena dgn katanya sttstststststts(sensor) akan nonton bareng aja nanti kita bersama baru hapus, dari saat Mayday ampe sekarang kaga nonton", mana dealine tugas di kumpul Sabtu, 8 Juni 2013 ini, hemmm ternyata tidak apa" di gandakan asalkan tidak untuk kepentingan komersial, karena mereka menggunakan creative common. Dan semakin kuat lagi saat membaca (http://www.portalkbr.com/berita/seni/2425297_4217.html) ,mungkin saat itu dia hanya melihat sekilas surat perjanjianx dan dia tidak hubungin dulu pihak DBF jika tidak di bolehkan ya apa daya, eh langsung main ambil keputusan, Sekarang aku akan belajar untuk tidak langsung mengambil kesimpulan terlalu cepat, terimakasih bu Nurliah dan sttstststststts(sensor) aku akan belajar untuk bisa membuat orang terperdaya hingga mereka yakin setiap apa yang kita katakan.
Dan bagi teman- teman yang sudah menonoton film Di Balik Frekuensi :
Buruan gabung di FB : FrekuensiPublik.
Dan di Twittetnya : @dbalikfrekuensi
Serta jangan lupa Follow @dukungluviana.
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
Ternyata Filmya bener-bener membuka Cakrawala Penegetahuan dan membuat Cerdas serta membuat Kata ini terucap,
Sayangnya di Indonesia, frekuensi publik sebagai kekayaan
udara yang jarang dibicarakan, dieksploitasi sedemikian rupa oleh para pemilik
media – khususnya televisi, dan digunakan sebesarnya untuk kepentingan ekonomi
dan politik mereka sendiri tanpa memikirkan kepentingan publik. Inikah
‘Captivated state’? ‘Captured state’? Sungguhkah negara sudah terbeli?
Sedikit
Info
Tahukah Anda
Di Indonesia
ada
Dan ternyata dari RIBUAN KANAL di Indonesia
hanya ada 12 Orang Saja Pemiliknya
Sedikit
Info
Tahukah Anda
Di Indonesia
ada
Dan ternyata dari RIBUAN KANAL di Indonesia
hanya ada 12 Orang Saja Pemiliknya
Sedikit
menceritakan kembali film DBF (Dibalik Frekuensi),
Di Balik Frekuensi adalah sebuah
feature documentary yang bercerita tentang sebagian kecil dari kisah media yang
ada di Indonesia, khususnya media televisi yang menggunakan sarana frekuensi.
Bagaimana frekuensi publik saat ini digunakan oleh pemilik media untuk
kepentingan politik dan bisnisnya yang jauh dari kepentingan yang berkenaan
dengan publik, itulah sebagian dari cerita yang bisa dilihat dalam film
dokumenter ini. Melalui kisah Luviana jurnalis Metro TV yang di PHK-kan serta
kisah Hari Suwandi dan Harto Wiyono dua orang warga korban lumpur Lapindo yang
berjalan kaki dari Porong-Sidoarjo ke Jakarta, film ini akan mengajak kita
untuk menyusur apa yang terjadi di dunia media di Indonesia belakangan, setelah
reformasi berjalan hampir 15 tahun.
hemmmm,,,,
Tanah, air dan udara, –merupakan
sumber daya yang terbatas dan memiliki nilai yang sangat berharga– harus
dikuasai negara dan sebesar-besarnya digunakan untuk kepentingan rakyat. Namun
sayangnya di Indonesia, frekuensi publik sebagai kekayaan udara dieksploitasi
sedemikian rupa oleh para pemilik media (khususnya televisi), dan digunakan
sebesar-besarnya untuk kepentingan ekonomi dan politik mereka sendiri tanpa
memikirkan kepentingan publik. Benar-benar negara ini sudah terbeli!
Media Mengabdi Publik, Bukan Menghamba Pada Pemilik.
Sampe lupa diriku untuk menceritakan sedikit DBF, Film ini menceritakan tentang 2 orang pencari keadilan yang “tertindas” oleh 2 stasiun televisi swasta yang berbeda. Orang yang pertama bernama Luviana, seorang wanita yang telah bekerja selama hampir 10 tahun di stasiun televisi “biru burung”. Entah mengapa beliau pindah jabatan oleh manager stasiun televisi itu secara mendadak. Awalnya Luviana menjadi asisten produser, kemudian dipindahkan ke bagian HRD. Akibat dipindah jabatan itu, beliau tidak dipersilakan memasuki ruang redaksi.
Orang yang kedua bernama Hari Suwandi. Beliau adalah salah satu dari korban lumpur lapindo. Beliau berinisiatif untuk melakukan perjalanan panjang selama sebulan untuk menemui penguasa pemilik perusahaan lapindo. Pak Hari ini berjalan kaki dari Porong, Siduarjo menuju Jakarta. Alasan beliau melakukan hal tersebut karena prihatin perusahaan itu tidak dapat memenuhi kebutuhan korban lumpur Lapindo.
Usaha kedua tokoh itu untuk memperoleh keadilan sangat tidak mudah. Pada tokoh pertama, Luviana telah melakukan mediasi dengan pihak manajemen “biru burung”. Akan tetapi, usaha ini tidak sampai menuju titik temu. Karena beliau mempunyai serikat pekerja, tokoh ini bersama- sama melakukan orasi di depan kantor stasiun televisi itu. Semua wartawan melihat aksi tersebut. Tidak ada satupun karyawan yang memberikan komentar karena di tempat itu ada manajer. Mungkin jika karyawan tersebut memberikan komentar, manajer akan memecatkannya.
Sedangkan pada tokoh yang kedua, Pak Hari Suwandi mendapat beberapa nikmat berupa minuman dan uang selama perjalanan. Dia tidak melakukan perjalanan seorang diri. Ada beberapa rekan yang membantu dia menuju tempat itu. Saat perjalanan menuju ke sana, dia mendapatkan berita yang tidak sesuai dengan kenyataan oleh stasiun televisi “merah dunia”. Pada berita itu dikatakan bahwa terdapat seorang warga “yang mengaku” korban lumpur Lapindo …. Mendengar berita itu, dengan spontan setiap ada reporter yang menggunakan seragam identitas “merah dunia”, beliau menyuruh reporter itu untuk pergi.
Setelah
melakukan aksi mediasi dan orasi dan ternyata tidak menyelesaikan masalah,
Luviana mengirimkan surat pengaduan ke pemegang perusahaan stasiun televisi
“biru burung” di kantor partai “restorasi Indonesia”. Karena tidak digubris
sama sekali, Beliau melakukan orasi kembali di depan kantor partai tersebut.
Saat orasi itu, beberapa perwakilan partai merasa terganggu dan menyuruh para
orator untuk melakukan mediasi secara damai di kantor partai tersebut. Lima
perwakilan orator tersebut memasuki gedung tersebut dan bertemu oleh bapak yang
berinisial “SP”. Hasil mediasi tersebut menghasilkan putusan bahwa masalah
Luviana ini akan diselesaikan pada hari yang telah ditentukan.
Hari yang
telah ditentukan tersebut sudah tiba, tetapi acara yang dijanjikan tersebut
dibatalkan karena bapak tersebut sedang berada di Singapura untuk melakukan
general check in. Mungkin hal itu terjadi juga karena bapak itu tidak
mengatakan “Insya Allah” dalam berjanji menentukan hari itu.
Langsung
menuju akhir, kedua tokoh itu mendapatkan hal- hal berat dan tidak terduga.
Luviana di-PHK oleh manajemennya dengan alasan melakukan orasi secara bersama-
sama dan mencemarkan nama baik. Sedangkan pada Bapak Hari Suwandi beliau mendadak
muncul di layar "merah dunia" yang menangis, menyesali aksinya dan
meminta maaf kepada Aburizal Bakrie. Sungguh aneh, ada apa dibalik semua itu?
Kita tahu, Aburizal Bakri adalah nama di balik perusahaan-perusahaan yang
menaungi PT Lapindo dan "merah dunia". Apa yang terjadi di balik
perubahan sikap drastis Hari yang sebelumnya begitu heroik? ANEH DAN
MEMBERIKAN TANDA TANYA YANG GEDE-GEDE (BESAR)?
Dan begitulah akhir dari cerita DBF, Hingga sekarang, Bapak Hari Suwandi tidak tahu di mana keberadaannya, sedangkan Luviana masih berjuang ampe detik ini, dukung lewat Twitter, @dukungluviana.
Terima kasih buat Kak Ucu Agustin dan tim untuk karya yang
luar biasa dan mencerahkan, semoga film DBF yang kakak buat dapat menggetarkan
dunia dan berhasil jadi yang nomor satu dalam festival film dokumenter
internasional, aamiin.
- Dari ribuan perusahaan media yang ada di Indonesia hanya 34 saja yang memiliki serikat pekerja.
- Politisasi dan eksploitasi frekuensi publik oleh pemilik media untuk melindungi kepentingan dan asetnya telah lama berlangsung publik telah menetahuinya, tapi negara seolah abai.
- Oligopoli perusahaan media mengakibatkan media di Indonesia dalam kondisi kritis. Karena, pemilik media menguasai opini untuk kepentingan politiknya dengan memanfaatkan berbagai program di medianya. "Baik melalui iklan, talk show, sampai tayangan sinetron masyarakat.
- Film ini tidak menggunakan hak cipta jadi siapa pun yang mau menonton nantinya bisa menggandakan tanpa harus izin terlebih dahulu. Mereka menggunakan creative common, jadi hak cipta itu ada di tangan publik, sehingga siapapun boleh menggandakan film ini secara gratis asal bukan untuk kepentingan komersial.
- Mengisahkan tentang jurnalis yang percaya bahwa pekerja media harus Independen, kritis dan sejahtera. Luviana adalah seorang jurnalis, telah bekerja 10 tahun di MetroTV sebagai Asisisten Producer News. Luviana dimutasi dari newsroom ke HRD, tapi ia menolak karena ia journalist. Ia kemudian di-PHK sepihak karena mempertanyakan sistem manajemen yang tak berpihak pada pekerja, dan ia juga mengkritisi independensi newsroom yang kerap dipakai oleh kepentingan pemilik. Hingga kini, kasus Luviana masih belum ada penyelesaiannya. Silahkan teman- teman lihat dan ikuti jejak-jejak aksi perjuangannya melalui blog WordPress-nya tersebut. Banyak hal-hal reflektif dan personal yang ia share selama menjalani dan melalui semua proses yang berkenaan dengan kasusnya melawan Metro TV. Anda juga bisa melihat foto-foto dokumentasinya di WordPress lainnya Dukung Luviana atau twitter@dukungluviana. Silakan sahabat blogger mem-follow blog dan twitter-nya guna update informasi dan memberikan dukungan.
- Film ini juga mengisahkan tentang Hari Suwandi dan Harto Wiyono. Mereka
adalah dua orang warga korban lumpur Lapindo yang berjalan kaki dari
Porong (Sidoarjo) ke Jakarta. Menghabiskan waktu hampir satu bulan demi
tekad untuk mencari keadilan bagi warga korban Lapindo yang pembayaran
ganti ruginya oleh PT Menarak Lapindo Jaya belum lagi terlunasi. Namun
kemudian TV One memutarbalikkan pemberitaan tentang kasus Hari Suwandi
dan Harto Wiyono. Aksi protes yang di awal tampak sangat menggebu-gebu
sehingga menuai banyak simpati ini berakhir dengan antiklimaks yaitu
Hari Suwandi mendadak muncul di layar TV One yang menangis, menyesali
aksinya dan meminta maaf kepada Aburizal Bakrie. Sungguh aneh, ada apa
dibalik semua itu? Kita tahu, Aburizal Bakri adalah nama di balik
perusahaan-perusahaan yang menaungi PT Lapindo dan TV One. Apa yang
terjadi di balik perubahan sikap drastis Hari yang sebelumnya begitu
heroik?
- Film dokumenter ini membawa kita pada perjalanan akan sebuah pencarian terhadap makna: Untuk siapa media dan pers/jurnalisme itu ada? DAN Untuk siapa mereka bekerja, untuk publik ataukah untuk pemilik media?
- Dalam catatannya tentang film ini, Ucu Agustin menulis: Pers dulu dibungkam, pers sekarang dibeli. Benarkah itu yang tengah terjadi di dunia media kita di era konglomerasi media pasca reformasi 14 tahun silam?
- Di Balik Frekuensi menunjukkan melalui hal-hal kecil, misalnya wartawan yang males-malesan ketika harus meliput bosnya, atau pemilihan diksi atau malah framing terhadap sebuah berita. Semua menunjukkan bahwa di balik frekuensi milik publik tersebut, terdapat berbagai kepentingan para pemilik stasiun televisi itu.
- Kisah -kisah dalam film ini adalah sedikit dari realita dan cerita yang terjadi " DI BALIK FREKUENSI " Publik.
oligopoli
perusahaan media mengakibatkan media di Indonesia dalam kondisi kritis.
Karena, pemilik media menguasai opini untuk kepentingan politiknya
dengan memanfaatkan berbagai program di medianya. "Baik melalui iklan,
talk show, sampai tayangan sinetron. Lalu, di mana ruang - See more at:
http://surabaya.tribunnews.com/2013/05/01/hari-buruh-aji-nonton-di-balik-frekuensi#sthash.PucCm61I.dpuf
oligopoli
perusahaan media mengakibatkan media di Indonesia dalam kondisi kritis.
Karena, pemilik media menguasai opini untuk kepentingan politiknya
dengan memanfaatkan berbagai program di medianya. "Baik melalui iklan,
talk show, sampai tayangan sinetron. Lalu, di mana ruang - See more at:
http://surabaya.tribunnews.com/2013/05/01/hari-buruh-aji-nonton-di-balik-frekuensi#sthash.PucCm61I.dpuf
Yang Menjadi Catatan Berharga bagi qu :
Dan bagi teman- teman yang sudah menonoton film Di Balik Frekuensi :
Buruan gabung di FB : FrekuensiPublik.
Dan di Twittetnya : @dbalikfrekuensi
Serta jangan lupa Follow @dukungluviana.
HARAPAN:
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat harus membatasi dengan ketat
kepemilikan media dengan mendefinisikan ulang batasan oligopoli maupun
monopoli. Usul ini merupakan salah satu rekomendasi tim peneliti tentang
“Kebijakan Media dan Industri Media di Indonesia”.
dan
agar dijalankan sistem siaran berjaringan dan dikembalikannya wewenang
Komisi Penyiaran Indonesia seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang
Penyiaran,".
Tidak ada komentar :
Posting Komentar